Sabtu, 24 Agustus 2013

Kerajaan Pedir

Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul “Silsilah Tawarick Radja-Radja Kerajaan Aceh”, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur, sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam, sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara. 



Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli. Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata “Pidie” seperti yang kita ucapkan. Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari perjalanan dari utara ke selatan.

Menurut M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama Indra. Waktu itu mereka masih menganut agama Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian masuk pengaruh Hindu.

Lama kelamaan Kerajaan Sama Indra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti pecahnya Kerajaan Indra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan Indrapuri, Indrapatra, Indrapurwa dan Indrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama Indra menjadi saingan Kerajaan Indrapurba (Lamuri) di sebelah barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama Indramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu,

Menurut M Junus Djamil, pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan SamaIndra beralih dari agama lama menjadi pemeluk agama Islam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 – 1408 M). Selanjutnya, pengaruh Islam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.

Setelah kerajaan Sama Indra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan Acehselanjutnya, Sultan Mahmud II Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah menjadi sultan muda di negeri Sama Indra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan Sama Indra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.

Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat KerajaanAceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar) sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.

Sementara Prof. D. G. E Hall dari Inggris, dalam bukunya "A History of South East Asia", mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah singgah di Pidie pada akhir abad 15.

Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh Sepanjang Abad) dalam “Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah” pada abad tersebut Pedir, yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.

Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu meningkat.

Bahkan vartheme menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat sekitar 500 orang penukar mata uang asing. “So extensive was its trade, and so great the number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd moneychanger,” kata Varhtema.

Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang Islam untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah mempelajari Islam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis sejumlah buku tentang Aceh.

Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya “Strict Administration of Justice,”.

Selain itu Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. Ia juga mengupas secara terperinci tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat alat-alat peletup atau senjata api.

Dalam sebuah riwayat Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang musafir Tiongkok, Fa Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie-red). Fa Hian menyebutkan Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan gajah, berpakaian sutra dan bermahkota emas.

Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi mengirim utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi, I Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli. Ia disebut tinggal selama lima tahun singgah dan tingagl di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh Besar), Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan kerjaan Dangroian (?).

Poli sebagai Pidie yang dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin dalam bukunya “Tarikh Aceh dan Nusantara” disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah negeri yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah Bandar pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting, yang oleh H M Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee.

Menurut Varthema sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma’ruf Syah Raja Pidie (Pedir, Sjir, Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu diangkat dua orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-mula Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara (Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, Ibrahim.

Kemudian Raja Ibrahim yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah abangnya menyerbu Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain menyebutkan bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.

Selanjutnya dengan sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh Besar pada tahun 1514 dan Sultan Salahuddin Ibnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahkta. Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang adiknya Raja Ibrahim menjadi Laksamana.

Adapun Silsilah Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier saat itu adalah Sebagai berikut :

1.Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
2.Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
3.Maharaja Malik Ma’roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun 1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
4.Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma’roef Syah. Pernah berperang melawan Sulthan Ali Mughayat Syah, tapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
5.Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah II (Meureuhom Khaa), kemuian menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
6.Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan Iskandar Muda.
7.Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil
8.Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
9.Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara IX Mukim Keumangan yang bergelar Pang Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
10.Meurah Po Itam : Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
11.Meurah Po Puan : Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
12.Meurah Po Thahir : Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut Muhammad dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada tahun 1740 M. Ia mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po Djoho.
13.Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
14.Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan sebutan Keumangan Teungeut.
15.Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
16.Teuku Keumangan Umar: Uleebalang IX Mukim, Pidie.

Kesultanan Lamuri

Lamuri dikenal sebagai tempat di Aceh Besar, yang didukung oleh keberadaan kompleks makam dan benteng. Hasil kegiatan arkeologi menunjukkan bahwa batu nisan di Aceh Besar adalah Samudera Pasai lebih tua.
Informasi Keberadaan Lamuri      
Nama Ramni (Abu Zaid Hasan), Lamuri (Prapanca), Lanpoli (Ma-Huan) dan Lambry (Tome Pires) telah dikenal pada awal-awal penyebaran Islam dan telah tersebar sampai ke mancanegara yang disebutkan dalam catatan perjalanan bangsa-bangsa asing.
Pada masa itu keberadaan Lamuri, Ramni ataupun Lambri telah cukup diperhitungkan mengingat hasil alamnya yang sangat penting dan menjadi mata dagangan yang cukup laku di perdagangan internasional. Letak kerajaan seperti tersebut di atas cukup penting yaitu berada di perairan Selat Malaka yang merupakan pintu gerbang, penghubung dua pusat kebudayaan besar di Asia.
Mengingat peran pentingnya, sangat menarik perhatian petualang-petualang asing yang diabadikan dalam catatan perjalanannya. Keberadaan Lamuri, Lambri, atau yang disebut Ramni pada masa itu dapat disejajarkan dengan bandar-bandar perdagangan terkenal lainnya di Asia Tenggara seperti Barus, Kota Cina, Kampei di Sumatera Utara, Pasai, Singkil di NAD, Tumasik (Singapura), Malaka, dan lain sebagainya.
Informasi awal tentang keberadaan Lamuri dapat dijumpai pada catatan Cina, oleh seorang perantau Muslim, Ma-Huan dalam bukunya Ying-yai Sheng-lan disebutkan terdapat nama Lam-Poli. De Casparis menyatakan nama Poli dapat disamakan dengan Puri, lengkapnya Lam-Poli atau Lam-puri—Dalam-Puri — Lamri, namun sampai sejauh mana persamaan Poli dengan Lamuri belum dapat dipastikan.
Dalam catatan lain yang berasal dari tahun 960 M, tersebut nama Lanli sebagai sebuah tempat persinggahan utusan-utusan dari Parsi saat kembali dari Cina setelah menempuh perjalanan selama 40 hari menunggu musim yang baik untuk melanjutkan perjalanan pulang ke negerinya (Montana, 1996/1997:84).
Dari masa yang lebih muda keberadaan Lamuri disebutkan dalam Negarakertagama. Disebutkan bahwa Lamuri, merupakan sebuah negeri yang takluk kepada kerajaan Majapahit. Muhammad Said dalam bukunya yang berjudul Aceh Sepanjang Abad menyebutkan tentang Lamuri dalam prasasti Tanjore (1030). Dalam prasasti tersebut disebutkan berita tentang ekspedisi Rajendracola I dari India; Ilamuridecam merupakan daerah taklukan Sriwijaya yang berhasil ditaklukkan Rajendracola pada tahun 1024 M (Nilakantasastri,1940).
Edwards Mc. Kinnon menulis tentang kepopuleran Lambri, yang terletak di ujung utara Aceh. Mengutip dari berbagai tulisan tentang Lambri, ia menyebutkan bahwa pada tahun 916 M Lambri telah disebut oleh Abu Zaid Hasan sebagai Rami/Ramni. Kepopuleran Ramni banyak diperbincangkan oleh para ahli, termasuk Tome Pires dalam bukunya “The Suma Oriental of Tome Pires”.
Berdasarkan temuan arkeolgis berupa keramik Cina dan studi geologi, Mc. Kinnon berkesimpulan bahwa Lambri terletak di Lambaro, di daratan Kuala Pancu, berdekatan dengan Lhok Lambaro. Dari Lambaro inilah Mc. Kinnon menduga terjadi pergeseran ucapan menjadi Lambri  (Kinnon,1998:102-121).
Codier yang mengutip pandangan Groeneveldt, berpendapat bahwa Lambry dekat dengan Aceh.
Selanjutnya Codier memperkirakan Lambry terletak di suatu tempat yang bernama Lamreh dekat dengan Tungkup. Pendapat Codier ini kemungkinan lebih tepat, mengingat dalam bahasa-bahasa nusantara, vokal i dan e lebih mungkin mengalami pergeseran artikulasi, demikian juga dengan vokal u dan o, sehinggga ucapan Lamreh lebih mungkin bergeser menjadi Lamri, Lamuri ataupun Lambri (Montana,1996/1997:85).
Beberapa Tinggalan Arkeologis di  Lamreh         
Dari catatan lain disebutkan, bahwa “penduduk Nan-wu-li sebagian berdiam di bukit-bukit dan jumlah mereka sedikit”. Hal ini menunjukkan bahwa Lamri tidaklah terletak di lembah Aceh, tetapi pada sejalur pantai kecil yang diperkirakan berada di daerah sekitar Krueng Raya.
Meskipun pusat kerajaannya sempit namun wilayah kekuasaannya meluas sampai ke sebagian lembah Aceh (Iskandar,1973: 28-30). Beberapa tinggalan arkeologis sampai saat ini masih dapat kita temukan di sekitar Krueng Raya. Tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut tampak cukup megah di sepanjang daratan sempit di daerah yang saat ini disebut Lamreh.
Tinggalan-tinggalan tersebut di antaranya adalah beberapa buah bangunan benteng, kompleks pemakaman dan adanya jejak bekas hunian, yang ditandai dengan adanya sebaran keramik. Beberapa tinggalan arkeologis tersebut di antaranya adalah :
Benteng Indrapatra   
Benteng ini diperkirakan telah beralih fungsi. Beberapa ahli berpendapat bahwa bangunan tersebut mengalami perubahan fungsi hingga menjadi seperti yang ada sekarang ini. Pendapat tersebut didasarkan pada analisis data bangunan. Di beberapa bagian bangunan masih dijumpai motif-motif bangunan bercirikan pra-Islam.
Menurut beberapa sumber bangunan ini merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Hindu di Aceh yang dibangun oleh Putera Raja Harsya (keluarga raja Hindu di India) yang melarikan diri akibat serangan Bangsa Huna pada tahun 604 M. Latar belakang sejarah mengenai Benteng Indrapatra masih harus ditelusuri lebih jauh.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Sultan Ali Riayat Syah IV (1604 M -1607 M) Kerajaan Aceh sedang mengalami ketidakstabilan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Portugis untuk menyusun kekuatan di Benteng Kuta Lubuk. Pada masa itu muncullah Perkasa Alam (Iskandar Muda) keponakan dari Sultan Ali Riayat Syah IV. Penyerangan Iskandar Muda, mendatangkan kemenangan bagi Kerajaan Aceh dan orang-orang Portugis berhasil diusir dari Benteng Kuta Lubuk.
Saat Sultan Ali Riayat Syah mangkat, Iskandar Muda naik takhta. Di masa pemerintahanSultan Iskandar Muda, kerajaan Aceh diperkuat dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan di sepanjang pantai Selat Malaka, kemungkinan salah satunya adalah dibangunnya Benteng Iskandar Muda. Sejarah penemuan benteng Kuta Lubuk disebutkan oleh Frederick de Houtman.
Dijelaskan bahwa benteng tersebut dibangun oleh orang Portugis yang datang tanggal 15 November 1600 M, sebagai markas orang-orang Portugis untuk berdagang di Aceh disaat hubungan Kerajaan Aceh dengan Portugis terjalin dengan baik (Said,1961:257-330).
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara, terdapat catatan mengenai Sultan Ala Addin Muhammad Syah yang memerintah tahun 1787-1795 M. Dalam suasana damai itu orang-orang Portugis yang mendapat izin berdagang, juga sekaligus mendapat izin dari sultan untuk membangun benteng di Kuta Lubuk.
Benteng Inong Balee
Benteng ini sering juga disebut sebagai Benteng Malahayati, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Almukammil (1589-1604 M). Bangunan ini merupakan benteng pertahanan sekaligus asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai sarana pemenuhan konsumsi laskar angkatan perang pimpinan Laksamana Malahayati.
Nisan  PlakplingDesa Lamreh terletak di Kecamatan Mesjid Raya, Kabupatan Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di desa ini, tepatnya berada ketinggian bukit antara Benteng Kuta Lubuk, dengan Benteng Inong Balee terdapat beberapa buah nisan yang memiliki bentuk unik.
Batu nisan tersebut secara umum berbentuk batu tegak atau tugu persegi empat yang makin keatas makin meruncing, membentuk piramida. Berdasarkan informasi penduduk, batu nisan tersebut dinamakan nisan Plakpling. Batu-batu nisan tersebut kemungkinan merupakan bentuk peralihan dari masa pra Islam ke Islam.
Beberapa peneliti sependapat bahwa nisan-nisan tersebut digunakan pada makam orang-orang ternama atau ulama Aceh yang berasal dari abad ke-16 atau lebih awal dari itu (Montana,1996/1997:90).
Bentuk nisan ini cukup unik karena menyerupai lingga ataupun menhir. Nisan-nisan tersebut memiliki bentuk yang bersumber pada tradisi sebelumnya, prasejarah dan klasik. Nisan tersebut dilengkapi dengan pola hias, berupa pahatan flora, geometris atau kaligrafi. Nisan-nisan tersebut meniru/menyerupai bentuk menhir atau lingga yang sangat umum dipakai pada masa prasejarah dan masa klasik/Hindu-Buddha.
Nisan   1
Terletak di dalam Benteng Kuta Lubuk. Nisan berukuran tinggi sekitar 80 cm. Berbentuk persegi empat berukuran lebar 20 cm, semakin ke atas semakin mengecil (piramid). Tiap sisi terdapat panil yang berisi hiasan berupa kaligrafi maupun motif sulur.
Nisan   2
Di bagian atas terdapat panil berukir motif flora. Bagian atap/kepalaberbentuk oval, horisontal.
Nisan   3
Terbuat dari jenis batuan andesit (batu Kali), dengan motif sangat menarik. Tinggi keseluruhan nisan diperkirakan sekitar 85 cm. Bagian dasar berukuran lebar sekitar 20 cm. pada tiap-tiap sisi terdapat panil-panil dengan kaligrafi. Bagian atasdihiasi dengan ukiran dengan motif bunga kerawang (tembus). Kepala berbentuk bawang.
Nisan   4
Berbahan dasar batuan andesit (batu kali). Sisi-sisinya berukuran lebar 20 cm. Terdapat panil di tiap sisi, dengan ukiran bermotiftanjung/lotus atau bunga teratai yang sedang mekar, dua sisi lainnya dihiasi dengan motif lotus yang sedang kuncup.
Nisan   5
Berbahan batuan kapur, berwarna putih kekuningan. Terdapat panil di keempat sisinya yang berisi kaligrafi dalam kondisi aus. Bagian atas terdapat panil yang berhiaskan sulur-suluran sampai ke bagian atas. Bagian atas berbentuk bawang, semakin ke atas makin mengecil.
PembahasanKebesaran Lamuri (kini disebut Lamreh) ditandai dengan keberadaan bangunan-bangunan benteng diperkirakan merupakan perkembangan selanjutnya atau bahkan bersamaan dengan keberadaan makam-makam tersebut.
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa bangunan-bangunan pertahanan yang ada merupakan peralihan fungsi dari bentuk yang ada sebelumnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa jauh sebelumnya, setidaknya telah ada suatu pemukiman yang cukup maju. Pembangunan bangunan-bangunan pertahanan tidak berhenti sampai disitu.
Pada masa belakangan, disaat kekuasaan dipegang oleh Sultan Ali Riayat Syah pada sekitar tahun 1604 M terdapat pembangunan benteng yang dilakukan oleh Portugis di Kuta Lubuk, hal ini sangat kontradiktif dengan kenyataan bahwa di dalam benteng tersebut di temukan makam dengan nisan bertipe plakpling yang dibaca oleh Suwedi Montana, yang menunjukkan angka tahun yang jauh lebih tua daripada pembangunan pembangunan benteng tersebut. Pembacaan yang dilakukan oleh Suwedi Montana terhadap salah satu nisan adalah sebagai berikut:
….assulthan Sulaiman bin Abdullah bin al Basyir
Tsamaniata wa sita mi’ah
680 H ( 1211 M)
Suwedi Montana menyebutkan, apabila kematian Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al Basyir adalah pada tahun 680 H (1211 M), berarti jauh sebelum itu di Lamreh, lokasi benteng Kutha Lubuk, sudah berkembang Agama Islam. Hal ini diketahui dari nama ayah dan kakek Sultan Sulaiman (Abdullah bin Basyir) yang berbau Islam (Montana,1997:87).
Pertanggalan tersebut menunjukkan umur yang lebih tua dibandingkan dengan nisan Sultan Malik as-Shaleh di Samudera Pasai -yang berangka tahun 696 H (1297 M)- yang dikenal sebagai daerah asal mula penyebaran Islam.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apabila bangunan benteng tersebut dibangun pada masa belakangan oleh Portugis, untuk apa keberadaan makam tersebut terawetkan di dalam lokasi benteng ?, yang notabene merupakan makam-makam Sultan yang merupakan lawan politiknya.
Namun seperti kita ketahui bahwa bangunan benteng tersebut sangat kental dengan unsur barat yaitu dengan adanya bastion di sudutnya. Saat kekuasaan dipegang oleh Sultan Iskandar Muda, pembangunan benteng-benteng pertahanan digalakkan kembali untuk menjaga stabilitas dalam negeri dari ancaman bangsa lain. Hal itu ditandai dengan pembangunan Benteng Iskandar Muda dan Benteng Inong Bale.
Nisan bertipe plakpling, di Lamreh menunjukkan bahwa di daerah tersebut terdapat komunitas yang telah memeluk Islam sebelum Samudera Pasai, yang ditandai dengan keberadaan nisan atasnama Sultan Sulaiman, yaitu di dalam Benteng Kuta Lubuk. Tipe-tipe nisan sejenis terdapat di atas bukit berdekatan dengan Benteng Inong Bale.
Pembacaan sekilas menunjukkan nisan tersebut juga cukup tua. Beberapa bangunan pertahanan kemungkinan melanjutkan tradisi yang telah ada sebelumnya, yaitu melengkapi pemukimannya dengan bangunan-bangunan pertahanan. Sayang sekali tidak ada penelitian yang secara khusus mengungkap keberadaan bangunan-bangunan benteng di daerah tersebut.
Nisan tipe plakpling merupakan nisan-nisan tipe peralihan, pra-Islam ke Islam. Batu nisan tipe ini berbentuk sederhana, sebelum dipakainya batu nisan yang disebut “Batu Aceh”, (nisan tipe Aceh). Batu-batu ini umumnya memiliki gaya sederhana namun diberi hiasan berupa relief dan/atau inskripsi (kaligrafi).
Nisan tipe ini merupakan awal perkembangan, melanjutkan tradisi yang telah ada sebelumnya. Bentuk nisan ini mengadopsi bentuk-bentuk phallus/lingga, meru dan menhir dengan hiasan-hiasan yang disesuaikan. Tipe nisan seperti ini memiliki persamaan dengan tinggalan arkeologis lain yang berasal dari masa yang lebih tua, megalithik, yang dikenal sebagai menhir (Ambary,1991:1–21).
Tipe-tipe nisan tersebut di atas, menunjukkan pengaruh yang sangat kental dari tradisi-tradisi megalithis dan Hinduistis. Adapun bentuk-bentuk motif hiasan yang dipakai kemungkinan merupakan perpaduan dari budaya tersebut.
Ambary menyebutkan, salah satu penyebab munculnya nisan tipe-tipe lokal (plakpling) adalah karena latar belakang sejarah budaya nusantara yang permisive terhadap anasir yang datang dari luar. Kreativitas mengubah dan menggubah anasir asing menjadi anasir nusantara merupakan strategi adaptasi.
Corak lokal merupakan wujud dari kebebasan seniman ataupun model yang berkembang dalam mengekspresikan cita rasa keseniannya. Perkembangan bentuk dari yang sederhana sampai pada yang rumit adalah sebagai respon dari pengetahuan, teknologi yang mereka peroleh (Ambary,1991:1–21).
Nisan plakpling terdapat hampir diseluruh wilayah Aceh, dengan populasi terbanyak di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Menilik bentuk dari nisan-nisan tipe ini, kemungkinan nisan ini merupakan tipe nisan yang dipakai berkelanjutan, mulai dari masa-masa awal kedatangan Islam sampai pada beberapa abad sesudahnya.
Nisan tipe ini masih digunakan berdampingan dengan periode sesudahnya, walaupun pada masa itu telah terjadi perubahan trend tipe nisan, yaitu nisan tipe Gujarat atau tipe-tipe “Batu Aceh” lainnya.
PenutupDengan demikian kita sampai pada kesimpulan bahwa Lamuri pada masa sebelum Pasai merupakan sebuah kerajaan Islam yang cukup besar. Kebesaran Lamuri tidak hanya berlangsung sebentar, keberadaan bangunan benteng pertahanan menunjukkan bahwa Lamuri yang kemudian berubah nama menjadi kerajaan Aceh masa selanjutnya dapat dipertahankan bahkan diperbesar.
Puncak kejayaan Lamuri adalah pada masa tampuk kekuasaan dipegang oleh Sultan Iskandar Muda. Hal ini menepis anggapan bahwa Samudera Pasai dengan rajanya Malik as Shaleh merupakan kerajaan Islam tertua di Nusantara.

Kerajaan Samudra Pasai



Kerajaan Samudra Pasai muncul pada abad ke 13 Masehi ketika Kerajaan Sriwijaya hancur. Kerajaan ini didirikan oleh Malikussaleh, merupakan kerajaan yang kaya dengan penduduknya yang banyak. Kota Kerajaan di sebut Pasai, sekarang ini letaknya di Desa Beuringen Kec. Samudera Geudong Kab. Aceh Utara Provinsi Aceh. Wilayah Kekuasaan Kesultanan Pase (Pasai) pada masa kejayaannya sekitar abad ke 14
terletak di daerah yang diapit oleh dua sungai besar di pantai Utara Aceh,
yaitu sungai Peusangan dan sungai Jambo Aye, jelasnya Kerajaan Samudra Pasai adalah daerah aliran sungai yang hulunya berasal jauh ke pedalaman daratan tinggi Gayo Kab. Aceh Tengah.

Karena letak Kerajaan Pasai pada aliran lembah sungai membuat tanah pertanian subur, padi yang ditanami penduduk Kerajaan Islam Pasai pada abad ke 14 dapat dipanen dua kali setahun, dalam berikutnya Kerajaan ini bertambah makmur dengan dimasukkannya bibit tanaman lada dari Malabar. Selain hasil pertanian yang melimpah ruah di dataran rendah, di dataran tinggi (daerah Pedalaman juga menghasilkan berbagai hasil hutan yang di angkut ke daerah pantai melalui sungai. Hubungan perdagangan penduduk pesisir dengan penduduk pedalaman adalah dengan sistem barter
 

Dengan munculnya pusat politik dan perdagangan baru di Malaka pada abad ke 15 adalah faktor yang menyebabkan Kerajaan Samudra Pasai mengalami kemunduran. Hancur dan hilangnya peranan Pase dalam jaringan antar bangsa, yaitu ketika suatu pusat Kekuasan baru muncul di ujung barat pulau Sumatera yakni Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke 16.Pasai ditaklukan dan di masukkan ke dalam wilayah Kekuasaan Kerajaan Aceh Darussalam oleh Sultan Ali Mughayat Syah dan Lonceng Cakra Donya hadiah dari Raja Cina untuk Kerajaan Islam Samudra Pasai dipindahkan ke Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh). Namun demikian dari perjalanan sejarah Pasai antara akhir abad ke 13 sampai awal abad ke 16 memang menunjukkan Kerajaan Samudra Pasai muncul dan berkembang. Runtuhnya kekuatan Kerajaan Pasai sangat berkaitan dengan perkembangan yang terjadi di luar Pasai itu sendiri, tetapi lebih di titik beratkan dalam kesatuan zona Selat Malaka walaupun Kerajan Islam Samudra Pasai berhasil ditaklukan oleh Sultan Asli Mughayat Syah, namun peninggalan dari Kerajaan ini masih banyak dijumpai sampai saat ini di abad ke 21.
 

Pada tahun 1913, 1915, J.J. De Vink bangsa Belanda telah mengadakan inventarisasi di bekas peninggalan Kerajaan Islam Samudra Pasai dan pada tahun 1937 di pugar beberapa makam di Samudra Pasai oleh Pemerintah Belanda kemudian pada tahun 1972,1973 dan tahun 1976 Peninggalan Kerajaan Samudra Pasai di Kec. Samudera Geudong Kabupaten Aceh Utara telah di inventarisasi oleh Direktur Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan milik pemerintah Republik Indonesia. Pada umumnya tulisan pada makam tersebut belum diteliti seluruhnmya dan hal ini perlu penelitian lebih lanjut oleh generasi sekarang. Berbagai peninggalan sejarah berupa situs makam para raja yang hingga saat ini penduduk disekitar makam Sultan Malikussaleh sering mendapat mata uang emas (dirham) keramik, gelang mata delima yang umumnya ditemukan oleh petani tebat, saat meraka menggali tebat di sekitar kawasan tersebut.
 


Raja-rajanya 
1. Sultan Malik al-Saleh (1267-1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)
3. Sultan Ahmad Laidkudzahi
4. Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M)
5. Sultan Shalahuddin (1405-1412 M)

Kerajaan Perlak

Kerajaan Perlak  berdiri tahun 840 M dengan rajanya yang pertama, Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah. Sebelumnya, memang sudah ada Negeri Perlak yang pemimpinnya merupakan keturunan dari Meurah Perlak Syahir Nuwi atau Maharaja Pho He La. Pada tahun 840 ini, datanglah rombongan berjumlah 100 orang yang dipimpin oleh Nakhoda Khalifah. Tujuan mereka adalah berdagang sekaligus berdakwah menyebarkan agama Islam di Perlak. Pemimpin dan para penduduk Negeri Perlak pun akhirnya meninggalkan agama lama mereka untuk berpindah ke agama Islam. Selanjutnya, salah satu anak buah Nakhoda Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja`far Shadiq dinikahkan dengan Makhdum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi. Dari perkawinan mereka inilah lahir kemudian Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah, Sultan pertama Kerjaan Perlak. Sultan kemudian mengubah ibukota Kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah. Sultan dan istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, dimakamkan di Paya Meuligo, Perlak, Aceh Timur.
Sultan Alaidin Syed Maulana Abdul Aziz Syah merupakan sultan yang beralirah paham Syiah. Aliran Syi’ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi’ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi’ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi’ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai. (AcehPedia.com)
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan. Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian. Bagian pertama, Perlak Pesisir (Syiah), dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988). Bagian kedua, Perlak Pedalaman (Sunni), dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023). (Wikipedia.com)
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya dengan para pemimpin kerajaan tetangga.  Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh. Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.
Kerajaan Perlak merupakan negeri yang terkenal sebagai penghasil kayu Perlak, yaitu kayu yang berkualitas bagus untuk kapal. Tak heran kalau para pedagang dari Gujarat, Arab dan India tertarik untuk datang ke sini. Pada awal abad ke-8, Kerajaan Perlak berkembang sebagai bandar niaga yang amat maju. Kondisi ini membuat maraknya perkawinan campuran antara para saudagar muslim dengan penduduk setempat. Efeknya adalah perkembangan Islam yang pesat

Kerajaan Jeumpa

Kerajaan Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur pada sekitar abad ke VIII Masehi. Hal ini berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa.
Menurut penelitian para ahli sejarah, diketahui bahwa sebelum datangnya Islam pada awal abad ke 7 M, Dunia Arab dengan Dunia Melayu-Sumatra sudah menjalin hubungan dagang yang erat sejak 2000 tahun SM atau 4000 tahun lalu. Hal ini sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan, Parsia, Hindia dan lainnya di sepanjang pesisir pulau Sumatera.

Letak geografis daerah Aceh sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh sebagai kota pelabuhan persinggahan yang berkembang pesat, terutama untuk mempersiapkan logistik pelayaran berikutnya dari Cina menuju Persia ataupun Arab dengan menempuh samudra luas. Salah satu kota perdagangan pada jalur tersebut adalah Jeumpa dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan.

Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 7 Masehi yang terletak di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa itu desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke "Pintou Rayeuk" (pintu besar).

Menurut legenda yang berkembang di sekitar Jeumpa, sebelum kedatangan Islam di daerah ini sudah berdiri salah satu Kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun temurun oleh seorang Meurah dan negeri ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lainnya. Sekitar awal abad ke 8 Masehi datanglah seorang pemuda tampan yang dikenal dengan Shahrianshah Salman al-Farisi atau Sasaniah Salman Al-Farisi sebagaimana disebut dalam Silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao dan juga disebutkan dalam Silsilah Raja-Raja Aceh Darussalam oleh Dinas Kebudayaan NAD. Sebagian ahli sejarah menghubungkan silsilah Pangeran Salman dengan keturunan dari Sayyidina Hussein ra cucunda Nabi Muhammad Rasulullah saw yang telah menikah dengan Puteri Maharaja Parsia bernama Syahribanun. Dari perkawinan inilah kemudian berkembang keturunan Rasulullah yang telah menjadi Ulama, Pemimpin Spiritual dan Sultan di dunia Islam, termasuk Nusantara, baik di Aceh, Pattani, Sumatera, Malaya, Brunei sampai ke Filipina dan Kepulauan Maluku.

Dikisahkan Pangeran Salman memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga dengan segala awak, perangkat dan pengawal serta muatannya yang datang dari Parsi untuk berdagang dan utamanya berdakwah mengembangkan ajaran Islam. Dia memasuki negeri Blang Seupeueng melalui laut lewat Kuala Jeumpa. Sang Pangeran sangat tertarik dengan kemakmuran, keindahan alam dan keramahan penduduknya. Selanjutnya beliau tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam yang telah menjadi anutan nenek moyangnya di Parsia. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima ajaran Islam karena tingkah laku, sifat dan karakternya yang sopan dan sangat ramah. Apalagi beliau adalah seorang Pangeran dari negara maju Parsia yang terkenal kebesaran dan kemajuannya masa itu.

Keutamaan dan kecerdasan yang dimiliki Pangeran Salman yang tentunya telah mendapat pendidikan terbaik di Parsia negeri asalnya, sangat menarik perhatian Meurah Jeumpa dan mengangkatnya menjadi orang kepercayaan kerajaan. Karena keberhasilannya dalam menjalankan tugas-tugasnya, akhirnya Pangeran Salman dinikahkan dengan puteri Raja dan dinobatkan menjadi Raja. Setelah menjadi Raja, wilayah kekuasaannya diberikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di Persia yang bernama "Champia", yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sejak saat Kerajaan Islam Jeumpa terkenal dan berkembang pesat menjadi kota perdagangan dan persinggahan bagi pedagang-pedagang Arab, Cina, India dan lainnya.
Kerajaan Jeumpa menjadi maju dan makmur sekaligus menjadi pusat penyebaran ajaran Islam di wilayah Sumatra bahkan Nusantara. Shahrianshah Sal-man al-Farisi memproklamirkan Kerajaan Islam Jeumpa pada tahun 156 H atau sekitar tahun 770 M. Maka tidak diragukan, Kerajaan Jeumpa adalah Kerajaan Islam pertama di seluruh Nusantara.

Tentu di balik kesuksesan Pangeran Salman membangun dan memimpin Kerajaan Jeumpa, didukung oleh seorang Ratu yang sangat berperan. Menurut Silsilah Sultan Melayu dan Silsilah Raja Aceh, Putro Manyang Seulodong atau ada yang menyebutnya dengan Dewi Ratna Keumala adalah istri dari pangeran Salman, anak Meurah Jeumpa yang cantik rupawan serta cerdas dan berwibawa. Putro Jeumpa inilah yang telah mendukung karir dan perjuangan suaminya sehingga berhasil mengembangkan sebuah Kerajaan Islam yang berwibawa, yang kelak melahirkan Kerajaan Islam di Perlak, Pasai, Pedir dan Aceh Darussalam.
Bersama suaminya, Ratu Jeumpa menjalankan kerajaannya sehingga menjadi sebuah kerajaan yang terkenal di dunia internasional dan menjadi kota persinggahan para pedagang-pedagang dari Arab, Parsia, Cina, India dan lainnya. Apalagi geografi Jeumpa sangat strategis yang berdekatan dengan Barus, Lamuri, Fansur yang lebih dahulu berkembang di ujung barat pulau Sumatra.

Di daerah yang sebagai tapak mahligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan tapak bangunan istana dan beberapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Semua ini tentu menggambarkan kemakmuran dan kemajuan dari Kerajaan Jeumpa 14 abad silam.

Ratu Manyang Seuludong bukan hanya berhasil menjadi pendamping suaminya dalam membangun Kerajaan Jeumpa, tetapi juga berhasil menjadi seorang pendidik yang baik bagi anak-anaknya yang melanjutkan perjuangannya menyebarkan dakwah ajaran Islam. Ratu dikaruniai beberapa putra putri yang dikemudian hari menjadi Raja dan Ratu yang sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah pengembangan Islam di Nusantara.
Anak beliau bernama Syahri Poli adalah pendiri dari Kerajaan Poli yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidier di wilayah Pidie sekarang yang wilayah kekuasaannya sampai ujung barat Sumatera. Syahri Tanti mengembangkan kerajaan yang selanjutnya menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Samudra-Pasai. Syahri Dito, yang melanjutkan mengembangkan Kerajaan Jeumpa. Syahri Nuwi menjadi Meurah dan pendiri dari Kerajaan Perlak. Sementara putrinya Makhdum Tansyuri adalah ibu dari Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, Maulana Abdul Aziz Syah yang diangkat pada tahun 840 Masehi.
Kecerdasan dan kecantikan Putro Jeumpa yang diwariskan kepada keturunannya menjadi lambang keagungan putri-putri Islam yang berjiwa penakluk dalam memperjuangkan tegaknya Islam di bumi Nusantara. Tidak diragukan bahwa Putro Manyang Seuludong telah menjadi inspirasi bagi perjuangan para Ratu dan putro-putro Jeumpa sesudahnya. Puteri-puteri Jeumpa telah menjadi lambang kewibawaan para Ratu Islam di istana-istana Perlak, Pasai, Malaka bahkan sampai Majapahit sekalipun.